BeritaNasional

Sejarah Jurnalistik di Indonesia

55
×

Sejarah Jurnalistik di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Semendawai media.com

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jurnalistik atau jurnalisme adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita dalam surat kabar dan sejenisnya. Di Indonesia, perkembangan jurnalistik dimulai pada abad ke-18.

Sejak saat itu, bidang jurnalistik pun terus berkembang sampai sekarang. Berikut ini sejarah jurnalistik di Indonesia.

Sejarah awal jurnalistik di Indonesia Sejarah jurnalistik dimulai pada masa pendudukan Belanda di Indonesia. Pada awal abad ke-18, tepatnya tahun 1744, Gubernur Jenderal Willem Baron van Imhoff mendirikan percetakan Benteng di Batavia dan menerbitkan surat kabar yang bernama Bataviasche Nouvelles. Bataviasche Nouvelles merupakan surat kabar yang terbit setiap minggu dan ditulis dalam bahasa Belanda. Surat kabar Bataviasche Nouvelles memang ditujukan untuk orang-orang Belanda yang ada di Indonesia.

Setelah itu, pada 1776, Belanda kembali menerbitkan sebuah surat kabar bernama Vendu Niews yang berisi tentang berita-berita pelelangan. Setelah terbit berbagai surat kabar berbahasa Belanda, akhirnya terbit surat kabar pertama Indonesia, yaitu surat kabar Bianglala yang terbit pada 1854 dan Bromartani pada 29 Maret 1855. Surat kabar Bromartani diterbitkan oleh seorang guru bahasa Jawa di Surakarta, yaitu Carel Frederik Winter.

Carel mengelola surat kabar ini bersama dengan anaknya, yakni Gustaaf Winter. Awalnya, surat kabar Bromartani sengaja diterbitkan sebagai uji coba untuk melihat bagaimana reaksi para pembaca sekaligus mencari pelanggan. Setelah boleh diedarkan, surat kabar Bromartani terbit setiap hari Kamis dengan harga langganan sekitar 12 gulden. Sejak Bromartani terbit, banyak anak-anak sekolah dan pembaca umum yang antusias dengan surat kabar berbahasa Jawa ini. Namun sayangnya, perkembangan penerbitan Bromartani harus berakhir setelah baru berusia dua tahun, karena jumlah pembacanya kian hari kian menyusut. Pada akhirnya, Bromartani resmi dinyatakan tutup pada 23 Desember 1956.

Perkembangan jurnalistik Jurnalistik mulai berkembang secara signifikan di Indonesia pada abad ke-20, setelah diterbitkannya surat kabar Medan Prijaji. Medan Prijaji adalah surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Bandung, Jawa Barat, pada 1 Januari 1907. Media yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo ini dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu. Tujuan Tirto menerbitkan Medan Prijaji adalah untuk memperjuangkan hak-hak rakyat pribumi.

Malangnya, gagasan Tirto ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia sehingga ia diasingkan. Kendati demikian, semangat Tirto dalam mengembangkan jurnalistik di Indonesia telah memotivasi surat kabar lain untuk berani mengkritik pemerintah kolonial. Sejak saat itu, surat kabar lain pun mulai bermunculan di Indonesia.

Jurnalistik pada masa kemerdekaan Pada masa Orde Lama, kebebasan jurnalistik cukup terjamin. Namun, memasuki tahun 1950, kebebasan pers mulai dibatasi yang ditunjukkan dengan ditutupnya sejumlah surat kabar, seperti Harian Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantara. Lalu, pada akhir tahun 1959, Presiden Soekarno mulai menerapkan demokrasi terpimpin dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan memberlakukan UU Darurat Perang yang membuat keberadaan pers semakin terhimpit.

Pada era demokrasi terpimpin, setiap perusahaan yang bergerak di bidang jurnalistik diwajibkan memiliki Surat Izin Terbit (SIT). Setiap surat kabar, majalah, dan kantor berita yang tidak mengikuti peraturan ini akan diberi sanksi tegas. Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada masa Orde Baru, dunia jurnalistik semakin terkekang. Pada 1967, pemerintah Orde Baru membentuk Dewan Pers yang diketuai menteri penerangan. Salah satu tugas utama Dewan Pers adalah menerbitkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang kemudian dijadikan pemerintah sebagai alat untuk mengendalikan media.

Selama UU Pokok Pers No. 11 Tahun 1966 diterapkan, tercatat ada dua surat kabar dicabut surat izin terbitnya, salah satunya Harian Kompas yang ditutup pada 1978.

Jurnalistik pada masa Reformasi Setelah masa Orde Baru beralih ke masa Reformasi, pers mulai dibebaskan yang ditandai dengan dibubarkannya Departemen Penerangan. Terlebih, setelah UU No. 40 Tahun 1999, Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik lahir, yang membuat kegiatan jurnalistik di Indonesia semakin semarak. Ditambah, setelah lahirnya Pasal 28 F UUD 1945 yang memberikan kebebasan penuh kepada setiap warga negara untuk melakukan kegiatan jurnalistik.

(Redaksi)